DEKAN Fakultas Hukum Universitas Abulyatama, Wiratmadinata, SH.,M.H mengkritisi kondisi Aceh pasca 10 Tahun Perdamaian. Ia melihat, saat ini masih terjadi kemiskinan dihampir setiap pelosok Aceh meski anggaran di Aceh begitu banyak.
“Terjadi kesalahan pada perencanaan, sehingga anggaran besar belum mampu memberikan manfaat yang maksimal bagi rakyat,” ujar Wira dalam Diskusi Terbatas membahas Sinergitas Hubungan Aceh-Jakarta di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Rabu (3/9/2015)
Ia mengatakan, bahwa telah terjadi perubahan dan transformasi sosial politik sekaligus sesuai dengan kesepakatan GAM dan Pemerintah RI sebagai bagian dari “peta jalan” perdamaian Aceh, sebagai contoh dibolehkannya pembentukan partai lokal di Aceh, berdirinya Lembaga Wali Nanggroe, dibolehkannya calon independen dan dibolehkannya Aceh memiliki atribut keistimewaan, bendera, lambang serta himne telah menggambarkan kondisi perubahan dan transformasi sosial politik tersebut
“Terlepas bahwa transformasi politik diatas cendrung bersifat simbolik dan tidak terlalu menyentuh kebutuhan rakyat saat ini, tetapi hal itu sudah legitimate dan tidak bisa dinafikan bahwa proses pemenuhan tuntutan atas hal-hal yang bersifat politik telah berjalan dengan baik,” kata aktivis yang juga seniman itu.
Pembentukan KPA, Wira melanjutkan, merupakan tindakan sepihak GAM yang tidak masuk dalam kesepakatan damai, program DDR maupun program paska konflik di Aceh. Hal ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan pembentukan partai politik lokal di Aceh khususnya Partai Aceh yang memang didesain untuk memfasilitasi transformasi GAM dari gerakan perlawanan menjadi gerakan perlawanan melalui jalur politik.
“Sedangkan KPA bertujuan “melestarikan” struktur komando GAM yang sama sekali tidak berbeda dengan struktur KPA, KPA terlihat seperti kekuatan bayangan di balik Pemerintahan Aceh yang notabenenya telah dikuasai oleh mantan anggota GAM,” kata Wira.
Ia melihat, adanya dominasi dari salah satu partai di Aceh saat ini. “Itu tidak sehat terhadap kondisi demokrasi karena tidak terjadinya check and balance terutama menyangkut kekuatan politik di parlemen sementara partai nasional justru bersikap pragmatis,” kata Wira.
“Kondisi tersebut menyebabkan buruknya kondisi demokrasi kita pada waktu itu, dampaknya juga buruk bagi keputusan-keputusan poltik yang berpihak kepada rakyat,” Wira menambahkan.
Wira menilai dominasi Partai Aceh di pemerintahan baik eksekutif maupun legislatif tidak menjamin terjadinya keharmonisan diantara Gubernu dan Wakil Gubernur. “Faktanya akhir-akhir ini kita disuguhkan dengan konflik di antara keduanya, sehingga masyarakat akan sulit memperoleh pelayanan maksimal yang disebabkan konflik antara orang nomor satu dan dua di Aceh tersebut,” katanya.
Mestinya, kata Wira, Gubernur dan Wakil Gubernu sebagai pimpinan daerah harus duduk bersama untuk membahas pembagian tugas satu sama lain. “Pembagian tugas ini harus jelas, terukur dan terkoordinasi dengan baik, bersama sekda, Staf Ahli, sehingga pendekatan tugas lebih bersifat mekanis dan objektif serta mengurangi subjektifitas,” Wira menambahkan.
Ia juga mengkritisi bahwa pengelolaan pemerintahan saat ini masih terlihat adanya masalah birokrasi di tubuh pemerintahan Aceh sendiri. “Mutasi terhadap pejabat pemerintahan terlihat tidak sesuai dengan prinsip-prinsip managemen pemerintahan yang baik, karena dilakukan dalam wkatu yang sangat dekat,” katanya.
Hal itu, kata Wira, akan mengganggu kinerja aparatur, karena mereka akan kehilangan kesempatan melakukan konsolidasi dan percepatan penyelesaian tugas-tugas mereka. “Seharusnya dalam menjalankan mutasi di tubuh birokrasi dilakukan berdasarkan “merit-system” bukan karena faktor suka dan tidak suka,” kata Wira yang juga sebagai pemateri pada diskusi tersebut.
Namun, secara umum ia melihat bahwa agenda-agenda krusial pada masa sepuluh tahun pertama perdamaian sudah berhasil dilaksanakan. “Kita apresiasi kepada semua pihak yang telah ikut menjaga, merawat dan mempertahankan perdamaian,” kata Wira.