Liliyana dan Tontowi tunjukkan ‘arti toleransi’ di Olimpiade Rio
Keberhasilan ganda campuran badminton Liliyana Natsir, Tontowi Ahmad merebut medali emas untuk Indonesia di Olimpiade dipandang sebagai wujud keberagaman Indonesia yang belakangan mendapat banyak masalah.
Lagu Indonesia Raya berkumandang di arena badminton pada hari Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus setelah Liliyana-Tontowi menang dalam dua set dalam menghadapi pasangan Malaysia Chan Peng Soon dan Goh Liu Yingdalam dua set 21-12, 21-14.
Keduanya adalah atlet Indonesia terakhir bertanding di Olimpiade Rio dan satu-satunya peluang untuk medali emas Indonesia.
Berita kemenangan pasangan Liliyana Tontowi ini dibagikan lebih 3.000 kali di Facebook BBC Indonesia dengan ratusan komentar termasuk dari Dwityo Sd Trisno yang menyebutkan keduanya menunjukkan arti toleransi di pesta olahraga besar ini.
“Yang satu Muslim dan yang satunya lagi Katolik, yang satu Indonesia asli, dan yang satunya lagi keturunan Tionghoa. Tapi mereka bahu membahu berjuang bersama, saling mendukung dan mensupport menutupi kelemahan masing-masing. Tidak ada permusuhan dan tidak ada kebencian diantara mereka. Dan mereka membawa EMAS untuk INDONESIA,” tulis Dwityo.
“Owi dan Butet sudah menunjukkan arti toleransi, persatuan, perjuangan, dan persaudaraan sesama anak bangsa,” tambahnya.
Tanggapan atas komentar ini termasuk dari Arif Budiman yang menulis, “Jadi ingat Sigit Budiarto dan Chandra Wijaya yang meraih medali emas ganda putra pada Olympiade Sydney 2000.” Ada pula Princes Crestiana Miuw Miuw yang menulis, “Contoh yang baik soal toleransi… harusnya semua rakyat indonesia bisaaaa.”
Tagar emas untuk Indonesia popular sampai Kamis dan disinggung lebih dari 10.000 kali.
Bonar Tigor Naipospos dari Setara Institute for Democracy and Peace mengatakan bahwa memang Liliyana dan Tontowi merupakan simbol keberagaman Indonesia.
“Bila kita berbicara soal perjuangan Indonesia, apapun agamanya, etnis tidak relevan lagi. Sekali menjadi WNI, semua setara dan memiliki hak yang sama dalam bidang ekonomi, politik, sosial dan budaya untuk bersama-sama berjuang ke depan,” kata Bonar.

“Kita lupa bahwa atlet-atlet kita berasal dari agama dan etnis yang berbeda dan kita tidak persoalkan hal ini. Kalaupun keturunan Tionghoa tidak dipersoalkan tetapi begitu urusan politik dipertanyakan,” tambahnya.
Bonar menyebut ini terjadi pada sejumlah politisi yang ia sebut ‘berpikiran sempit dan berstandar ganda’ dan mendukung sesuatu untuk kepentingan mereka.
Walaupun menang meyakinkan dalam dua set namun Liliyana yang biasa dipanggil Butet mengatakan sempat goyah di set kedua dan tenang setelah diyakinkan oleh Tontowi.
“Saat itu Owi berkata kepada saya ‘Nggak apa-apa cik, saya siap back-up di belakang. Cik Butet tenang aja jaga di depan. Cici lebih unggul kok (permainan) depannya’,” kata Liliyana seperti dikutip dalam situs Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia.
“Kata-kata Owi ini membuat saya makin semangat dan percaya diri. Setelah break, saya rileks saja, toh di game pertama saya sudah menang juga, seharusnya lawan yang under pressure,” tambahnya.
Badminton tidak menyumbang apa pun dalam Olimpiade 2012 di London setelah sebelumnya meraih enam emas dalam lima Olympiade.
Susy Susanti dan Alan Budikusuma meraih emas di Olimpiade Barcelona 1992, kemudian Ricky Soebagdja/Rexy Mainaky di Olimpiade Atlanta 1996, Tony Gunawan/Candra Wijaya di Olimpiade Sydney pada 2000, Taufik Hidayat di Olimpiade Athena 2004, dan terakhir Markis Kido/Hendra Setiawan di Olimpiade Beijing 2008. | Sumber : http://www.bbc.com/
Leave a Reply
Want to join the discussion?Feel free to contribute!